Jika Aku Menjadi TKW

Aku bangga karena bisa lulus SMP. Aku senang bisa merasakan masa-masa peralihan anak-anak ke remaja bersama anak lain seumuranku, masa SMP. Aku juga punya cita-cita. Aku tak bisa menyebut satu per satu cita-citaku. Kalo aku sebutkan cita-citaku, yang jelas TKW tidak termasuk di dalamnya. Remaja mana yang ingin menjadi TKW?

Rencanaku setelah lulus SMP adalah bersekolah di mana saja yang bisa memberi beasiswa tidak mampu. Aku ingin merasakan lulus SMA. Aku ingin belajar lebih banyak lagi. Aku juga ingin mempelajari dunia, dari ujung sampai ujung yang lain. Tapi itu hanya harapan. Yang mungkin mustahil tercapai karena aku sekarang berada di sini, di rumah saudagar kaya. Aku bekerja, dan aku harus ikhlas.

Setiap pagi aku harus bangun lebih pagi dari dari masa-masa aku sekolah dulu. Lalu bergegas ke dapur, memasak. Setelah itu mencuci baju, sehabisnya membersihkan rumah seluas ini. Tentunya aku pernah merasa capek. Tapi 6 bulan cukup lama untuk membiasakan rasa capekku.

Di sela-sela pekerjaanku itu sering kali aku membayangkan remaja lain seumuranku. Pasti mereka sedang belajar, bercanda bersama teman-teman mereka, merasakan bahagianya masa remaja mereka. Tak jarang, aku harus mengepel kembali lantai yang usai aku bersihkan karena kejatuhan air mata yang mungkin sekarang sudah gersang.

Sudah 6 bulan aku tidak memegang buku, paling-paling hanya buku anak majikanku yang harus aku rapikan. Aku rindu buku. Aku rindu belajar. Ah, kapan aku bisa belajar pelajaran sekolah lagi. Dan, kapan lagi aku jatuh cinta. Aku juga rindu perasaan-perasaan itu. Apa artinya tiap hari hanya bertemu pekerjaan-pekerjaan itu, piring kotor, pakaian kotor, lantai kotor. Sungguh membosankan.

Seringkali aku menghibur diri “kamu itu hebat, Nisa. Masih kecil sudah bekerja mencari nafkah buat keluarga. Sedangkan teman-temanmu, Cuma bisa menguras nafkah keluarga”. Itu sedikit menghiburku. “kamu seharusnya senang, bisa ke luar negri. Bisa bergabung dengan suku dan kebudayaan lain. Itu pengalaman, Nisa. Tidak banyak temanmu yang bisa ke luar negri”.

Benar. Ini adalah pengalaman. Aku bisa belajar, memang bukan palajaran sekolah. Tapi ini belajar tentang kehidupan. Mereka, teman-temanku, tidak belajar yang aku pelajari di sini. Jadi aku harus berkata bahwa aku beruntung, dan itu sangat sulit.

Indonesia-Arab Saudi. Itulah latar kisahku. Remaja yang masih memiliki cita-cita. Remaja yang tidak pernah dilanda kegalauan. Tapi ini lebih dari kegalauan. Mungkin penderitaan, atau kesengsaraan. Ya! Telapak tanganku pun sekarang sudah kasar karena pekerjaan rumah yang begitu banyaknya. Apalagi kalau majikanku kedatangan tamu, makin lunglai aku menjamu dan membersihkan sampah sisanya, lalu mencuci piring bekas makanannya, setelah itu membersihkan lantainya, dan baru bisa istirahat. Tak lama istirahat paling-paling ada pekerjaan lagi.

Hari-hariku selalu sama, tidak ada variasi. Tidak ada sesuatu yang berbeda setiap harinya. Tidak seperti remaja-remaja lain yang hari-harinya penuh kesan, tentang sekolah, cinta, pelajaran, persahabatan, dan banyak. Tapi inilah takdirku, di sebuah negara islam beriklim gurun. Menjalani hari-hari hampa hanya di dalam rumah di daerah Hududusy Syamaliyah. Mimpi, aku bisa ke gurun pasir yang terbesar di Arab, Rub Al Khali. Kalau aku berada di sana, hal yang pertama aku lakukan adalah berteriak. Agar pasir-pasir di sekeliling tahu kisahku, karena aku ingin mencurahkan kisahku dengan pasir-pasir diam yang bergerak jika hanya diterpa angin. Karena mereka diam.

Aku ingin bermain, aku ingin bersama teman-teman sebaya. Aku ingin merasakan kehidupan remaja SMA. Tapi aku tidak tahu apa jadinya nanti. Delapan belas bulan lagi kontrakku selesai, dan pulang ke Indonesia. Di sini muncul kegalauan. Kalau aku sudah pulang ke Indonesia, mau apa. Sekolah? Mana ada SMA yang gratis. Dan aku hanya bisa menjalani takdir.

0 comments:

Post a Comment

My Instagram