Aku

Saat ini aku masih berstatus pilek. Masih agak parah, dan parahnya tadi pulang sekolah hujan-hujanan. Ini gara-gara payung rusak pasca njeprak. FYI, payung njeprak adalah payung dengan kondisi seperti mangkok, jadi melengkungnya kebalik dengan payung saat kondisi normal, biasanya karena angin kencang. Sebenernya aku juga nggak tahu apa benar itu namanya njeprak, tapi orang-orang di sekitarku menyebutnya seperti itu. Yah, begitulah, dasar payung murahan.
Ok statusku adalah pilek. Badan agak lemes, tapi nggak tau kenapa pulang sekolah nggak langsung pulang malah ke gramed. Dan galaulah di sana. Banyak buku yang pengen aku beli, tapi nggak banyak uang yang pengen aku keluarin. Setelah menggalau mau beli buku mana, alhasil cuma beli satu buku yang ya lumayan murah.
Ok statusku adalah pilek. Ini boros tisu. Untung di kamar ada persediaan banyak tisu. Jadi jelas tempat sampah isinya cuma tisu.
Ok statusku adalah pilek. Dan aku nggak mau minum obat. Kalo cuma sakit kayak batuk, pilek, demam, aku nggak pernah minum obat. Aku benci minum obat. Kalaupun aku minum, nggak bakal ngefek apa-apa, paling cuma ngantuk efeknya. Alhamdulillah selama ini kalau sakit ringan, dibiarin ‘lama-lama’, eh ‘bentar-bentar’ juga sembuh sendiri. Kecuali cacar yang pernah aku derita. Minum obat menyembuhkan penyakitku dan menambah penderitaanku. Parahnya cacar itu datang pada saat yang sangat tidak tepat. Waktu itu UHT dan aku harus ke Surabaya buat semifinal OMITS. Aku ke sana, ketemu dewa-dewa yang udah ndewa banget, dalam keadaan mengidap cacar dengan muka yang jelas dihiasi cacar. Ini nggak elit banget.
Ok statusku adalah pilek. Ini membuatku nggak semangat ngapa-ngapain. Sebenernya aku mau ngerjain PR, ya, PR. Baru 2 hari sekolah udah ketiban PR banyak. Tapi ya itu tadi, aku masih males. Atau misalnya, misal lho ya, misal nggak ada PR aku mau belajar matem, udah berminggu-minggu aku nggak ngerjain soal matematika. Pasti otakku jadi tumpul, karena otakku emang nggak pernah lancip. Iya, aku butuh belajar. Apalagi saat ini aku adalah dewa wanna be. Ngomong-ngomong, beberapa hari yang lalu aku chatting sama salah satu temen, dheo, dewa, fisika, SBBS.
Ini adalah obrolan singkat yang terhenti di tengah, tanpa editing :

D : Nisa y?? Sy lup kpan nmbahin akun kamu di kontak Gochat sy..—“. Tiba” muncul gitu aja.
N: iyaa.. wah aku juga nggak tau, aku malah jarang banget pake gochat
D: Bntar”, sy juga ga buka kok ahir” ini. kok bisa tp??
N: aku juga masih bingung sama sistemya gochat..
D: Nisa blum osn y?? Wah taun ini nih. Kmbranku tuh lawan. :D
N: wah kalo kembaranmu itu udah ndewa banget..
D: Msih kalah kok sama reza dia. Beda sih emang level yg udah pelatnas ama blum.
N: ya sih.. tapi yang jelas kalian itu hebat hebat.
D: Bljarnya jg sbnding kok.
N: belajar sebanding kalo otak nggak sebanding tetep aja beda.
D: Prcy ga, J manusia lahir dgn kcerdasan yg sama.
N: ya, saat lahir emang sama tapi perkembangannya beda.
D: J prcy ga prcy sy ga prcy kata genius.
N: tapi aku percaya.

Aku jadi mikir keras abis itu.
Seorang medalis nggak percaya sama kejeniusan. Dia, atau mereka, percaya sama usaha dan kerja keras. Aku udah buktiin sendiri hal itu, terhadap diriku sendiri. Dulu saat TC OSN, jadwal belajar malem itu Cuma sampe jam 10an, jelas jam segitu aku udah tidur biasanya. Tapi mereka, nggak tau sampe jam berapa, masih belajar, mungkin tidurnya habis sahur. Dan hasilnya, seperti itu. Aku sering menyebut sekolahnya sebagai sarang dewa, atau kayangan.
Yang jelas, dari obrolan itu, I have been motivated. Aku nggak lagi menggalaukan kekurangjeniusanku. Kalau memang genius adalah jalan buntu bagiku, masih ada jalan usaha dan kerja keras.
Dia benar, manusia dilahirkan dengan kecerdasan yang sama. Aku juga benar, perkembangannya yang beda. Beda perkembangan itu karena dosis belajarnya nggak sama. Jadi kalau aku memotivasi diriku sendiri, “jika dosis belajarku sama kayak mereka, aku juga bisa seperti mereka”
Tapi aku bingung, karena sampai saat ini aku masih percaya sama kata genius. Aku juga nggak tau, genius itu karena belajar apa dari sananya. Yang sering aku denger, “belajar nggak belajar kalau emang genius pasti bisa”. Jadi genius itu emang bawaan, tapi aku yakin manusia lahir dengan kecerdasan sama. Jadi gimana?

4 comments

  1. post-post-mu ki dalem kabeh ya nis. walaupun pertamane gaje. "Ok statusku adalah pilek." haha
    Asal niat ki iso yo ngalahke wong jenius. Man jada wajada

    ReplyDelete
    Replies
    1. post-post-mu ki fotone bagus kabeh ya desu.
      ciye desu bijak..
      ok NIAT.

      Delete
  2. Aku percaya sama orang jenius, orang yang sejak lahir sudah punya kejeniusan sendiri. Jenius itu sendiri dikategorikan jadi beberapa macam, kok. Aku nggak tahu jenius yang mana yang dipahami temenmu yang bernama Dheo itu. Tapi kalo pendapatku sendiri, jenius itu punya skill super tanpa harus ngapa-ngapain. Dengan kata lain bawaan. Atau bakat.

    Jadi pro dengan pembelajaran, ketekunan, dan kerja keras itu (menurut pendapatku) agak beda sama jenius. Itu hebat, tapi itu hasil belajar. Makanya kalo Dheo nganggap 'semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama'->'jenius itu nggak ada'; cara pikirnya nggak salah.

    Eh, tapi aku punya satu kondisi lain untuk nyebut jenius; kemampuan belajar supercepat & langsung pro itu juga menurutku bisa dibilang jenius.

    ReplyDelete
  3. *prokprokprok*
    ok lah, tiap orang punya pendapat sendiri2 soal jenius...
    kalo aku pernah nganggep jenius itu "bisa tanpa belajar"

    ReplyDelete

My Instagram