Aku nggak
tau seperti apa hidupku. Iya, sampai sekarang aku belum menemukan diriku. Aku nggak
tau aku ada di mana, di dunia mana, atau di dimensi mana. Baik, itu berlebihan.
Jelasnya aku belum nemuin jati diriku sebenernya. Dan aku nggak tau kalimat itu
cocok apa enggak dengan keadaanku sekarang ini.
Bakat.
Nah, maksudku itu. Aku nggak tahu bakatku apa. Sebut satu-satu tentang bakat
seseorang!
Nyanyi, nggak tega sama telinga orang
yang dengerin aku nyanyi.
Nari, nari apa? Tari jawa, tidak
juga. Tari modern, apalagi. Tari bali, blas.
Ok, lagi! Melukis, bahkan nggambar 2
gunung dengan matahari di tengahnya pun aku nggak bisa bagus.
Sebut lagi! Olahraga. Olahraga apa
dulu? Senam, enggak. Lari, ogah. Permainan bola, tidak juga. Ah sudah lah,
jelas aku nggak bakat di bidang olahraga.
Menulis. Nulis apa? Cerpen? enggak. Nover? apalagi.
Bakat apalagi yang biasanya dimiliki
orang? Musik. Ya, aku bisa megang semua alat musik, dalam arti sebenarnya.
Pandai. Pandai pelajaran di kelas? Tidak,
ok.
Tunggu tunggu,
aku di kelas olimpiade kan ya. Aku olimp matematika kan ya. Apa ini bakatku? Bakat
matematika, kedengaran agak aneh.
Iya, benar
aku anak matematika di kelas. Tapi aku nggak pernah merasa kalau aku pinter
matematika. Buktinya, banyak! Bandingin sama dewa-dewa di sana. Jauh!
Benar,
hidupku nggantung dan nanggung, di matematika. Mending kalau jadi anak
matematika jadi dewa sekalian. Nah aku? Bukan dewa sama sekali. Kadang aku juga
ragu kalau aku anak olim matematika.
Kalau
dipikir-pikir, setidaknya aku yang mikir, mending nggak usah berkecimpung di
matematika kalau nggak bisa jadi dewa. Jadinya gini nih, nanggung. Rasanya tuh
ngganjel di tengah. Mau jadi dewa susah, mau mundur juga gimana gitu, udah
terlanjur sampai tengah. Kadang hal ini yang bikin aku frustasi, depresi,
stress, gila, galau, atau apa lah.
Ya,
mungkin aku manusia setengah dewa kali ya. Bukan! Seperempatnya aja nggak ada.
Matematika.
Sekarang aku mau menelusuri kembali dari mana asal-usulnya aku masuk dunia ini.
Iya, aku
inget. Kelas 5 SD. Waktu itu aku nggak naruh perasaan lebih ke matematika,
biasa aja, nggak cinta, nggak benci, juga nggak pinter pinter amat. Entah guruku
dapet petunjuk dari mana tiba-tiba nyuruh aku ikut lomba tingkat kecamatan. Aku
tegasin kembali, cuma tingkat kecamatan.
Aku juga
inget, waktu lomba cuma beberapa gelintir soal yang bisa aku kerjain, lainnya
ngawur, senjata frustasi. Jadi ceritanya aku kedatengan dewi fortuna. Juara 1. Padahal
nggak bisa apa-apa. Maju tingkat kabupaten deh. Harus belajar.
Orang tuaku
mendukung sekali akan hal itu. Bahkan bukan guruku yang ngajarin aku buat
persiapan lomba di tingkat kota, tapi ibuku. Perlu ditegasin, ibuku bukan guru,
apalagi guru matematika, bukan orang berpendidikan tinggi. Ibuku cuma lulus
SMA, kalau ada biaya pasti ibuku bakal kuliah dan sekarang namanya nggak cuma
Supartini, tapi ada banyak embel-embel di namanya, karena ibuku pinter.
Walaupun sudah
lama lulus SMA dan tentunya juga lama nggak belajar pelajaran sekolah, ibuku
masih bisa ngajarin aku matematika, olimpiade SD, ibuku bisa. Ya, emang gampang
sih, soal olim SD.
Bukan dosen
bukan guru yang membimbingku, hanya ibu rumah tangga, alhasil cuma peringkat 4
se-kota. Syukur masih dapet kesempatan maju ke tingkat propinsi.
Masih ibu
yang jadi pengajarku. Guruku sibuk. Dan aku yakin ibuku lebih pinter kalau
masalah soal olimpiade.
Yang paling
jelas melekat di memoriku yaitu,
Ibu pernah sampai marah-marah
gara-gara ngajarin aku nggak mudeng-mudeng. Dan aku sampai nangis. Ya, aku
nggak tau nangis karena apa. Karena dimarahin atau karena otakku yang nggak
cair.
Karena
otakku yang nggak terlalu cair ini, akhirnya lengser sampai propinsi. Dan parahnya
hal ini bikin aku suka matematika. Bikin aku pengen belajar matematika terus. Hingga
berlanjut sampai SMP.
Sedihnya,
ibuku sudah nggak mampu ngajarin aku soal olim SMP, wes piro-piro ibu isa
ngajari olim SD.
Blablabla
di SMP aku cuma bisa nguasai kota saja, propinsi nggak nyampe. Itu pun pas kelas
8-9, kelas 7 nya cupu. Nah, SMP adalah puncakku suka sama matematika. Ini (itu)
adalah masa giat-giatnya aku belajar matematika, masa cinta-cintanya aku sama
matematika. Ya, aku tegasin lagi, aku tetep aja nggak bisa jadi dewa. Nanging,
melu OSN ki wis piro-piro.
Jadi
SMP adalah puncaknya matematika dalam hidupku.
Lalu
lalu, SMA? Jangan tanya deh, aku malah makin cupu. Iya emang sih, aku sering
ikut lomba, tapi kapan menang? Mentoknya cuma sampe semifinal. Udah. Nyesek bukan?
Parahnya aku di kelas olimpiade. Dan aku bukan dewa. Dan aku bingung, mau
maksain diri buat belajar biar jadi dewa, itu pun kalau bisa. Atau tinggalkan
matematika, yang sampai sekarang belum menjamin masa depanku.
Kadang
aku berpikir aku salah jalan. Tapi takdir nggak pernah salah.
Aku juga
bingung, salah jalannya di mana, salah memilih matematika atau salah memilih
kelas olimpiade (baca: smaga). Entah.
Sampai sekarang
aku belum menemukan bakatku selain matematika, padahal aku juga nggak bakat di
matematika. Tapi setidaknya matematika yang paling mending. Tiap orang pasti
punya bakat kan ya. Tapi apa bakatku?
Jadi sekarang
pilihanku adalah, naik, tetap di tengah, atau turun dan mencari yang lain. Kalau
naik, jujur sulit. Tetap di tengah, ya aku bisa. Turun dan mencari yang lain,
lalu apa yang harus aku cari? Bakat. Gimana nyarinya?
4 comments
Maafin Ib ya Nak......yg waktu itu sempat marah2 sama kamu. dulu itu kan bukan salah kamu sepenuhnya, masa materi kelas 1 SMP suruh ngerjain kamu yg waktu itu masih kls 5 SD.
ReplyDeletelah..
Deleteaku terharu sama ibumu....
ReplyDeletejangan nangis pung...
Delete