Nggak ikut
OSK, aku merasa gagal menjadi anak olim. Karena satu sekolah cuma bisa ngirim
maksimal 3 anak tiap mapelnya. Sedangkan aku nggak masuk 3 besar itu. Padahal seharusnya
nggak terlalu sulit untuk lolos ke OSP karena sistemnya passing grade.
Yaa, gitulah.
Palingan gara-gara aku kurang belajar atau memang aku yang bodo. Seleksi cuma satu
kali aja nggak masuk. Sumpah bodo banget, kalah sama adek kelas coba.
Tapi ambil
positifnya aja deh: nggak perlu belajar olim matematika, bisa ikut UTS, nggak
perlu mikirin OSK, nggak perlu galau-galauan nunggu pengumuman OSK.
Jujur aku
kecewa dan mungkin marah soal hal ini. Bukan soal nggak ikut OSK. Tapi
kenapa dulu aku musti disuruh pergi ke kayangan ketemu para dewa. Disamakan dengan
dewa, itu yang jadi tekanan batin. Seharusnya porsi dan jenis ‘makan’ku beda
banget dengan para dewa. Dari situ aku tahu gimana rasanya makan makanan para
dewa. Tapi jelas makanan itu nggak pernah sampai perut, selalu muntah.
Gimana rasanya
dari pagi sampe tengah malem selama sebulan otak dipaksa muter-muter sama
soal-soal IMO lah, soal olimpiade Baltic Way lah, soal pelatnas lah, soal tetek
bengek lah. Belum lagi teori-teori yang mungkin ditemukan oleh orang kurang
kerjaan, teorema benzout lah, dalil lemma lah, ada euler lah, apa lah,
terserah.
Kebetulan banget yaa, waktu itu bulan Ramadhan, jadi hati bisa sabar. Tapi otak
nggak pernah rela.
Jadi tahun
ini nggak ikut OSK nggak terlalu nyesek. Tragedi Bina Darma itu lah yang
nyeseknya minta ampun.
Yang tahun
ini nggak ikut OSK, tahun lalu ada ‘kemajuan’, bisa ikut OSK. Padahal seleksi
dari sekolah berkali-kali. Dan aku bisa ngalahin kakak kelas. Benar ada ‘kemajuan’,
dari yang tahun ini kalah sama adek kelas.
Lumayan nyesek
sih tahun lalu nggak lolos ke OSP, padahal harusnya aku bisa ngerayain ulang tahunku
sambil ngerjain soal OSP.
Tahun sebelumnya, 2011, ada ‘kemajuan’ lagi. Ya seenggaknya cuma sampai OSP lah, mending
daripada tahun setelahnya. Kadang aku juga sering bingung, apa benar aku pernah
ngalahin kakak-kakak yang sudah SMA. Kalau ngeliat kondisiku saat ini, itu
sangat impossible. Padahal waktu itu sistemnya nggak passing grade, jadi tiap
kota diambil 3 buat OSP. Waktu itu aku bener-bener lagi kesurupan dewa.
Nah, tahun
2010 nih, ‘kemajuan’ lagi, bisa sampai OSN. Yaa walaupun nggak bawa pulang
kepingan logam, tapi mending lah dibandingin tahun setelahnya. Lumayan bisa nyebrang
ke Sumatra dan cukup nambah banyak temen. Yang paling penting, aku bisa kenal
banyak dewa dari sini.
OSN IX inilah
yang mengantarku sampai sini, sampai SMA 3 Semarang. Kalau bukan karena OSN,
sama sekali aku nggak ada pikiran ke smaga, lagian ngapain juga sekolah
jauh-jauh ke semarang kalau di Pati aja banyak SMA bagus-bagus. Tapi nyatanya
aku memang sampai sini.
Nah kira-kira
begitulah ‘perkembangan’ dan ‘kemajuan’ ku dalam olimpiade sains nasional. Aku ulas
kembali, dari yang tahun ini nggak ikut OSK, tahun lalu bisa ikut OSK. Dari tahun
lalu yang nggak bisa ikut OSP, tahun sebelumnya bisa ikut OSP. Dan tahun
sebelumnya lagi malah sampai OSN. ‘Perkembangan’ yang bagus, Nisa, dari nggak lolos ke OSK,
OSK, OSP, OSN. Semoga tahun sebelumnya bisa ikut IJSO.
Jadi itu yang aku maksud di post sebelumnya.
4 comments
salah lo,gue bukan termasuk dewa.cuma sekedar bidadari manis yang salah gaul sama para dewa
ReplyDeletejangan salahkan siapa2 nak,...kamu dilahirkan dari keluarga yang serba paspasan, ekonomi pas2an, otak juga paspasan, cita2mu untuk menjadi dewa berkerudung biarlah hanya sebagai impian, setidaknya kamu sudah pernah jalan bareng bersama para dewa, dan mengukir sejarah bahwa anak dari sebuah keluarga yang jauh dari hirukpikuk perkotaan bisa masuk smanga. itu sudah menjadi kebanggaan yang luar biasa, jangan patah semangat.....abah dan ibumu selalu berdo'a untukmu...
ReplyDeletesama nis, aku juga.
ReplyDeleteorang2 (dengan gampang) bilang, 'udah ikhlasin aja' , 'fokus buat kuliah', atau apalah sebagainya. waktu itu aku sama skali nggak nggubris kata mereka. aku larut sendiri dalam kesedihanku. aku bener2 jadi orang yang berbeda dari sebelumnya. aku membuat benteng-ku agar orang2 nggak bisa masuk dan gangguin aku. dan aku juga sama skali nggak nyentuh yang namanya buku matematika. entah sampai kapan aku kayak gitu. trus suatu hari ada seseorang yang ngerobohin bentengku. dia ngasih kata2 yang bikin aku sadar semuanya nggak bisa dibalikin lagi. kita hanya perlu memandang ke depan, dan menjadikan semua yang sudah berlalu sebagai sebuah 'tempa-an' agar menjadi pedang yang lebih tajam.
nah itu, aku sempet benci sama kalimat 'udah iklasin aja'...
Deleteya emang sih kita harus ikhlas nerima semuanya, tp sesaat aku sempet nggak ikhlas banget. terus buat apa selama ini aku belajar...
ya udah lah