Cerita
ini berawal dari cuaca pagi yang tak cerah seperti biasanya. Langit pagi ini tak
hanya kelabu, tetapi juga basah (basahhhnya
sambil mendesah). Namun rintik terjun tak terlalu cepat, tak terlalu padat,
dan tak memberi ruang untuk sang embun pagi. Bebatuan kaku beku melicin oleh
lelumutan dan pagi yang basah. Goyangan rerumputan mendayu oleh sepoi dan pagi
yang basah. Jejalanan membecek oleh rintik dan pagi yang basah. Genangan air tak
mencermin karena masih tertumbuk rintik dan pagi yang basah. Atap gedung dan
genteng rumah ikut membasah. Surya enggan beranjak dari peraduannya karena pagi
yang basah. Pagi ini basah. (semua kata ‘basahhh’
diucapkan sambil mendesah).
Tolong
abaikan paragraf yang niatnya dibikin puitis tapi jadinya norak di atas. Jadi di
paragraf sepanjang itu aku cuma mau bilang kalau tadi pagi hujan. Udah gitu
aja. Nah, aku mau cerita, tapi aku nggak minta kalian buat dengerin ceritaku,
karena aku cerita di blog ini lewat tulisan, jadi cukup dibaca saja. Terima kasih
telah berniat melanjutkan membaca ceritaku, dan terima kasih sudah bosen baca
sampai di sini karena setidaknya kalian telah berkenan membuka blogku.
Jadi
cerita ini berawal dari cuaca pagi yang tak cerah seperti biasanya. Langit pagi
ini tak hanya kelabu, tetapi juga basah.......oh maaf maaf, lupa, yang ini udah
ada di paragraf pertama tadi. Oke lanjut....eh, mulai :
Ceritaku
hari Senin 10 Maret 2014 diawali dari bangun pagi (skip). Pagi ini hujan, tumben, kemarin-kemarin nggak hujan. Aku mikir,
kalau ke sekolah pakai sepatu item satu-satunya, pasti sampai sekolah kaki
basah. Jadi dari kosan harus pakai sendal dulu. Tapi ribet kan ya. Dan setelah
menimbang dan membanding, aku ambil keputusan ke sekolah pakai satu-satunya
sepatu yang kedap air, warna dominan ungu, ada itemnya, dan tali warna putih.
Sampai
sekolah, lihat temen-temen pada ngaji karena hari ini ujian agama, aku ikutan
ngaji. Bel masuk, masuk kelas, LJK dibagi, ngisi LJK, soal dibagi, ngerjain
soal, baru sampai nomer 20 udah ngantuk banget, nggak tahu kenapa. Sampai nomer
27 berhenti ngerjain, menundukkan kepala dan menutup mata tapi bukan untuk
selamanya. Lanjut ngerjain sambil merem.
Tiba-tiba
pintu kelas terbuka dan masuklah yang terhormat Bapak Umaryono. Ya kalian tahu
sendiri lah, gimana pak Umar. Kalau nggak tahu nanya anak smaga. Pak Umar! Deg! Seketika jantungku tak
mampu memompa darah, sepersekian detik kemudian ia memompanya teramat kuat,
sangat kuat. Deg-deg-deg, begitulah kira-kira suaranya. Langsung aku menata rok
sedemikian rupa.
Sementara
pak Umar menebar pandangan ke seluruh penjuru ruang kelas, aku sok fokus,
pura-pura mikir. Sayangnya jantungku tak bisa berpura-pura. “Copot sepatunya!”
perintah beliau pada salah satu temenku yang tak pernah dipanggil dengan nama
aslinya. Lalu beliau berjalan ke belakang, melewati bangkuku. Aku nggak mampu
memandang beliau karena sedang sibuk berpura-pura, jadi nggak tau beliau lihat
bawah mejaku apa nggak, dan berlalu begitu saja. Jantungku mulai melambat namun
masih cepat. Lalu pak Umar mengambil sepatu temenku tadi dan mencopot tali
warna merahnya. Aku masih pura-pura.
Akhirnya
beliau keluar dari ruang ujian dengan membawa beberapa pasang tali sepatu bukan
warna item.
Dalam
hati, setelah kepada Allah, aku berterima kasih pada rok osisku yang kepanjangan
dan bagian bawahnya lebar banget. Ia mampu menutup penampakan sepatu ungu-tali-putihku.
Jadi aku tak perlu melafalkan mantra shoelacesus
hitamus. Krik.
Selesai
ujian berkeliaran banyak pasang sepatu tanpa tali.
Dan
aku selamat.
Kau
tahu? Ada cerita yang lebih penting lagi; ini hari terakhir ujian sekolah, jadi
aku bisa meloakkan buku-buku PKn, sejarah, basa Jawa, dkk. Ini sangat
melegakan. Karena aku malas memikirkan nilai ujian sekolahku yang penuh
keegoisan dan individualisme.
Sekian,
terima kasih.
0 comments:
Post a Comment