Penghujung SMA


Tadi sore di bawah kucuran air kran (maklum, kamar mandi kosku nggak ada showernya) aku kepikiran sesuatu. Ternyata lumayan banyak yang bisa diceritakan tentang sesuatu tersebut. Jadilah aku curhat di sini. Nulis di antara temen-temen yang lagi belajar. Tapi aku udah selesai belajar kok, yah emang kapasitas otakku yang kurang jadi nggak bisa lama-lama belajar.
Oke, nggak perlu basa-basi lagi. Jadi, biasa lah udah akhir kelas 12 lagi galau-galaunya mikir kuliah di mana. Termasuk aku, walaupun sekarang udah nggak galau lagi, tapi aku termasuk plin-plan dalam merencanakan kuliah.
Pertama kali mikir mau kuliah di mana, aku pengen psikologi. Psikologi UGM inceranku. Itu waktu kelas 11. Jadi waktu itu tiap ditanya mau kuliah di mana aku jawab psikologi. Aku belum tahu apa-apa soal psikologi, cuma tertarik sama nama ‘psikologi’ aja. Nggak tahu kenapa.
Setelah beberapa waktu jadi nggak yakin sama psikologi. Pertama, ternyata aku nggak tertarik sama nama mata kuliahnya. Ya, namanya, karena aku belum tahu isinya. Kedua, aku nggak mau belajar IPA-ku sia-sia. Susah banget tauk belajar IPA, itungan plus apalan lengkap ditambah pemahaman dan logika yang bikin otak tereksploitasi besar-besaran, seenggaknya otakku doang sih. Rugi banget kalau tiga tahun stress belajar IPA akhirnya nggak dipake. Ya, aku mikirnya gitu. Jadi, psikologi tereliminasi.
Setelah melewati beberapa waktu tanpa tujuan tempat kuliah, teknik sipil tiba-tiba muncul di kepala. Ini juga nggak tahu kenapa. Mungkin sama, tertarik sama nama ‘teknik sipil’. Karena waktu itu, awal kelas 12, aku belum tahu apa-apa soal kuliah, gimana masing-masing jurusan, apa yang dipelajari, dll.
Seiring kemunculan teknik sipil, DKV dan arsitektur perlahan-lahan masuk kepala. Kalau DKV ada alasannya. Ya, aku suka desain. Suka, aku nggak bilang pinter. Mungkin aja lulus DKV bisa bantu abahku, mengangkat usaha abah, mungkin. Tapi abah bilang “Nyablon ra usah kuliah iso.” Itu benar, abahku buktinya. Namun DKV masih di kepala.
Sekitar awal November, aku ketemu guru SMP yang deket dan paling akrab sama aku. Ditanya mau kuliah di mana, aku jawab teknik sipil, dan beliau kayak disappointed gitu. Katanya, aku nggak cocok di teknik sipil karena kebanyakan praktek di lapangan. “Kalau nggak arsitektur, Pak.” lanjutku setelah ekspresi disappointmentnya. Dan beliau bilang lebih baik arsitektur kalau buat aku, sambil ngasih ceramah singkat. Ini cukup mempengaruhiku. Aku pertimbangkan kata-kata beliau.
Dan teknik sipil is out.
Semakin mengerucut. DKV dan arsitektur.
Nah, DKV. Pertama, aku males bikin portofolio buat pendaftaran SNMPTN. Tapi nggak males-males amat sih. Kedua, di PTN yang aku mau nggak ada prodi DKV. Baiklah, DKV nggak jadi. Gitu aja.
Makin lama aku makin yakin sama arsitektur. Ngincer arsi UGM, aku suka mata kuliahnya. Waktu searching nemu blognya mahasiswa arsi UGM, aku makin tertarik, tertarik buat belajar. Dan sampai sekarang mantep arsi.
Ya, aku nggak cerita soal saran orang tua. Karena orang tuaku sangat fleksibel. Beda banget sama temen-temenku yang sering pada cerita, katanya nggak boleh kuliah di sini, jangan kuliah di situ, jangan ambil jurusan ini, nggak boleh ambil jurusan itu, karena ini, karena begitu. Orang tua mereka begitu berpengaruh. Nah, abah ibuku, terserah aku mau kuliah di mana, mau jurusan apa, yang penting seneng. Pokoknya enak deh jadi anaknya mereka, absolutely demokratis.
Oh ya, ada bagian yang ketinggalan. Banyak juga yang nanya “Nggak ambil matematika aja?” ah sumpah. Sama sekali nggak pernah kepikiran kuliah di matematika. Bosen banget lah, 12 tahun belajar matematika. Ntar lulus kuliah botak sekarat. Ya lah, 12 tahun aja rambut udah mulai rontok.
Lalu masalah prospek. Banyak temenku yang menjadikan prospek sebagai pertimbangan besar dalam memilih jurusan.
Ada temenku yang mau ambil arsitektur, tapi nggak jadi, katanya dia nggak punya keluarga arsitek, jadi susah cari kerja. Aku juga nggak punya keluarga yang arsitek, orang tuaku nggak punya kenalan arsitek, juga nggak punya kenalan yang kenal arsitek, tapi kalau kenalan yang punya kenalan yang kenal arsitek mungkin ada. Mungkin sih.
Aku pribadi, belum mikir sampai prospek. Aku suka, makanya aku belajar. Kuliah itu yang penting suka. Prospek bagus kalau nggak tertarik atau nggak ada minat di jurusannya, percuma, nanti kacau kuliahnya. Ya, aku nggak mencemaskan prospek, ini didukung ibuku yang bilang kalau kuliah itu belajar, nilai plusnya bisa buat nyari kerjaan. Ya, mungkin ibuku mikirnya perempuan nggak perlu repot-repot mikir kerja, mencari nafkah itu kewajiban laki-laki. Jadi, kuliah ya mikir kuliah.
Nah, masalah perguruan tinggi. Awalnya orang tua nyaranin di Undip, aku tahu ini saran yang tidak harus dipertimbangkan, ya karena mereka fleksibel. Tapi aku SMA udah di Semarang. Rasanya bosen aja 3 tahun di Semarang. Cari kota lain lah. Akhirnya pilihan jatuh di Jogja. Ya, UGM. Jadi aku kepoin arsinya UGM dan ketemulah blognya mas-mas arsi UGM tadi.
Jogja. Mungkin aku korban novel-novelnya Bernard Batubara. Novel romance setting di Jogja, terkesan Jogja kota yang romantis. Parisnya Indonesia kali (kuliah woy! Bukan cari cinta). Oke.
Selain Jogja, Bandung boleh kali ya, ITB, SAPPK. Mungkin dinginnya asik. Tapi ada mas-mas FTTM ehem yang nakut-nakutin aku tentang ITB. Oke, nggak jadi daftar ITB deh. Aku emang nggak mau TPB-nya, ampun deh SMA tiga tahun udah muak. Lagian Bandung jauh, dan aku masih menderita homesick yang nggak sembuh-sembuh sejak hampir 3 tahun yang lalu. Tapi harusnya nggak papa di ITB, kan ada mas-mas hampir om-om yang di FTTM itu (mau nambahin ‘kurang dari tiga’ tapi kok alay).
Jadi, dengan berbagai pertimbangan pilihan jatuh pada arsitektur dan Jogja.
Udah lah, segini dulu curhatnya. Temenku yang lagi belajar udah mulai ngantuk, artinya ini udah larut malem, nggak larut juga sih, karena Ksp lebih kecil, jadi mengendap.
Terima kasih sudah mampir, lebih-lebih membaca dari awal sampai sini. Selamat malam, karena aku nulis ini waktu malem.


1 comments

My Instagram