Enam atau Tujuh Tahun Lagi




“Gantian kamu dong yang cerita. Masa aku terus yang curhat.”
“Aku nggak pandai bercerita. Aku hanya setia mendengar.”

Itulah salah satu hal yang bikin kesel darinya. Sudah kayak pidato saja kalau aku di depannya, ngomong panjang lebar sendiri. Tapi dia memang pendengar yang setia.

“Terus tulisan-tulisan yang sering kamu kasih itu apa?”
“Itu daftar belanjaan.”
“Ngelawak ya?”

Hal kedua yang bikin kesel, susah diajak ngomong serius. Memang kadang-kadang candaan garingnya sedikit menghibur, tapi seringnya nyebelin.

“Oke-oke, emang sih aku suka nulis fiksi, tapi curhat beda dengan nulis cerpen, you know?”
“Aku nggak minta kamu buat curhat. Cerita aja. Tentang apa saja boleh.”
“Kamu pengen aku bacain cerpen di sini?”
“Uhh... Gini aja, kamu cerita tentang mantan pacar kamu atau gebetan kamu atau pacar kamu atau mantan gebetan kamu atau pacar gebetan kamu atau gebetan pacar kamu atau mantan pacar gebetan kamu atau gebetan mantan pacar kamu atau mantan pacar gebetan mantan kamu, pilih salah satu.”
“Kenapa soal itu?”
“Karena aku sudah pernah cerita itu semua ke kamu.”
“Sudah kubilang, aku pendengar dan bukan pencerita tapi penulis.”

Jujur, sebenarnya aku kepo banget soal kehidupan cintanya. Kalau dilihat dari tampangnya yang lumayan keren, belasan wanita mungkin ada.

“Oke. Gimana kalau sebagai gantinya kamu bercerita, aku kasih pertanyaan dan harus dijawab?”
“Baiklah, lagian aku juga penjawab pertanyaan.”
“Pertanyaan pertama. Nama, siapa?”
“Kamu sudah tahu.”
“Nama lengkap?”
“Sepertinya kamu butuh KTP-ku.”
“Hahaha... itu cuma bercanda kok.”
“Kamu bisa bercanda?”
“Sshh... udah, yang ini pertanyaan inti. Punya pacar?”
“Enggak.”
“Hai, mblo. Hahaha... Punya gebetan?”
“Enggak.”
“Bohong?”
“Iya.”
“Siapa gebetan kamu?”
“Rahasia.”

Hal ketiga yang nyebelin, dia suka main rahasia, apalagi tentang kehidupan asmaranya. Bahkan aku tidak pernah tahu siapa wanita yang disukainya. Cuma ia pernah bilang suka sama wanita pencerita yang cerdas.

“Siapa mantan pacar kamu?”
“Enggak ada.”
“Bohong?”
“Iya.”
“Siapa?”
“Namanya Mila, waktu SD kami jadi olok-olokan temen.”
“Please deh, tapi okelah kalau kamu sebut itu pacar. Mantan yang lain?”
“Enggak ada.”
“Huh... Baiklah, kamu pernah bayangin masa depan kamu seperti apa?”
“Tinggal di tempat sejuk, punya pekerjaan yang menjamin, istri idaman, anak-anak yang cerdas.”
“Pengen punya anak berapa?”
“Dua aja. Atau kamu pengen 3?”
“Dua aja, cewek cowok.”
“Ya udah, ntar kita bikin dua ya.”
“Eh?”
“Iya, kamu penginnya 2 kan?”
“Emm... ntar?”
“Ya 6 atau 7 tahun lagi. Gimana?”
“Tapi...”
“Apa mau ntar malem?”
“Enggak!!!”
“Hahaha... bercanda doang kali.”
“Ya udah deh, 6 atau 7 tahun lagi.”
“Jadi?”
“Jadian?”
“Menurutmu?”
“Kamu bercanda.”
“Aku serius. Jadi aku nggak perlu cerita tentang pacarku kan?”
“Nggak perlu, aku sudah tahu semua tentang pacar kamu.”

8 comments

  1. Ciieeh, Nisa jadian. PJ PJ

    ReplyDelete
  2. Hati hati bercerita dengan dialog, kadang bisa terjebak dengan hal yang monoton.
    Sebenarnya anda lebih pandai bercerita dengan pemaparan. sebagai perbandingan bila ingin maju dalam menulis cerpen adalah membaca cerpen orang lain. coba baca di http://cerpenkompas.wordpress.com/
    maaf menggurui..

    ReplyDelete

My Instagram