Beberapa kali
terakhir aku di rumah dan waktunya kembali lagi ke Semarang pasti hujan. Sampai
deras. Lihat, alam pun memintaku untuk tetap tinggal. Alam yang melarangku
kembali ke Semarang. Awan di kampung halaman masih merindukanku. Dan mereka tahu
cara mencegahku kembali ke kota lumpia.
“Balik sesok
wae lak wes”
Aku tahu
masih ada sisa-sisa kerinduan dalam kalimat ibuku itu. Hujan bukan satu-satunya
alasan beliau menyarankanku untuk pulang besoknya.
“Halah, balik
sesok meh mangkat jam pira. Saiki bis angel. Bali pajar-pajar malah repot ngko”
Abahku benar
juga. Akan lebih repot jika aku harus bangun dini hari, lebih tepatnya malas,
lalu sampai Semarang langsung ke sekolah, kan capek. Aku setuju dengan abahku,
tapi di sisi lain aku juga masih ingin menikmati alam yang telah menyambut
kelahiranku 16 tahun silam.
Aku galau
sementara mataku fokus pada tas yang sudah berisi barang-barang yang perlu aku
bawa. Di antara hujan yang sudah mereda tinggal gerimis dingin, aku mendengar
bisikan, “leave me now”.
Sepertinya,
melalui caranya sendiri, yaitu menggantikan hujan dengan gerimis kecil, alam
telah merelakanku untuk pergi lagi ke kota atlas. Mungkin dia sudah tak
merindukanku lagi.
***
Di kananku
seorang wanita muda dengan satu tas kerja, di kiriku mbak-mbak kuliahan
sepertinya, dengan barang bawaan sepertiku, dan seorang bapak dengan tas ransel
tipis. Kami berempat berdiri dalam diam. Kami tidak bicara tapi aku tahu kami
menunggu hal yang sama: bis Surabaya-Semarang.
Memang,
Pati-Semarang sering aku tempuh dengan bis Surabaya, dengan satu alasan: lebih
cepat. Tiap kali singgah di terminal kota cuma sebentar, hanya mengambil
penumpang, tidak menunggu penumpang.
***
Aku baru
terbangun dari tidur tidak nyenyakku setelah teriakan kondektur, “Semarang oper
Semarang oper.” Jelas ini ada di terminal. Bukan, sepertinya itu di luar
terminal. Sambil buru-buru dan sebel, sebagaimana penumpang lainnya, aku
langsung menuju bis satunya tanpa memperhatikan sekitar. Aku ingin membenahi
tidur tidak nyenyakku di bis ini, setelah membeli sebuah arem-arem panas
seribuan. Cukuplah satu arem-arem menggantikan makan siangku.
Tak peduli dengan
sekitar dan terlalu stack untuk
melihat jam, aku simpulkan bis ini segera meninggalkan terminal Demak. Berarti kurang
dari sejam roda bis ini akan menggelinding di terminal Terboyo. Ternyata tidur
tidak nyenyakku tadi cukup lama.
Aku mulai
tertarik dengan hamparan sawah hijau di kiri jalan. Sangat luas, hampir
mencapai kaki langit. Aku yakin angin sejuknya mengalahkan terik matahari dan
asap dari kendaraan termasuk bis yang aku di dalamnya ini. Dari balik jendela
kaca bis ini, ribuan tanaman padi itu terlihat seperti padang rumput yang
tentunya juga sangat luas. Ya, aku suka padang rumput. Ah itu tidak penting.
Karena padang
padi itu, aku jadi peduli dengan kiri jalan. Sampai pada deretan bangunan
pertokoan, di depannya ada banner dengan pojok kanan bawah tertulis ‘Kudus’. Oh
Tuhan, jadi perjalanan ini baru sampai Kudus. Artinya aku harus mendekam di
bawah AC bis ini lebih dari satu jam lagi.
Aku jadi
memikirkan tidur tidak nyenyakku yang belum sempat aku benahi. Jadi tadi aku
tidur hanya sebentar banget. Tapi sampai-sampai aku tidak sadar sampai mana
perjalanan ini. Padahal tidurku juga tidak nyenyak. Ah...
Terkadang,
perasaan tidak sesuai dengan kenyataan. Aku tidur tidak lama dan nyenyak,
ternyata.
***
Sampai Genuk
hujan mulai deras. Kurasa payung yang sejak pulang Pati aku bawa belum berguna,
akan segera dibutuhkan.
Benar saja,
begitu sampai Terboyo langsung naik ke bis Banyumanik, dan turun di depan gang
Bedagan, payung yang sebelumnya useless kini
useful juga. Dari jalan pemuda masuk
jalan Bedagan kira-kira 150 meter, akhirnya sampai juga di rumah sementaraku. Tidak
sabar ingin segera mandi dan melemparkan diri ke kasur.
Begitu masuh
kamar, tujuan pertamaku jelas saklar lampu. Kini saklar sudah dalam posisi on. Tapi,
Tuhan, kamarku masih gulita. Aku pencet-pencet lagi saklarnya. Masih gelap. Oh Tuhan,
ada masalah apa dengan lampu kamarku.
Aku coba
nyalain kipas angin. Hasilnya aku kecewa. Kipas angin juga tidak bisa hidup. Jelas
aliran listrik ke kamarku putus. So I
couldn’t do anything in my room. What
the hell! Padahal ruang tengah dan kamar-kamar yang lain baik-baik saja.
Untung aku
menyimpan senter di kamar. Sangat membantu. Langsung aku sms penjaga kosnya. Dan
balasannya, “saya masih di pemalang, besok baru bisa saya benerin.”
Masalahnya malam
ini aku haru menyelesaikan 20 soal matematika yang tidak mudah.
Aku pikir
membeli lilin dan korek api sekarang adalah wajib. Baiklah, tidak terlalu
masalah untuk hal ini. Kembali payung menjadi tempatku berlindung, masih deras
di Semarang.
Korek api dan
lilin sudah di tangan. Tinggal menyalakannya.
Ternyata sebuah
lilin tak banyak membantu. Tapi tak apalah daripada benar-benar gulita.
Aku rasa aku
butuk satu hal lagi: air mineral. Oh dewa air, tidak ada minum di kamarku. Artinya
payung akan berguna lagi. Aduh, kenapa tidak sekalian tadi saat beli lilin beli
air mineral juga. Ini benar-benar what
the hell. Tuhan, aku sudah capek. Mendekam di bis berjam-jam dan
bolak-balik ke toko. Ah belum lagi 20 soal matematika itu. Belum mandi juga. Belum
beres-beres kamar. Belum makan. Ahh...
Tidak ada
listrik di kamar. Charging Hp dan
ngerjain 20 fucking math problems haru
di ruang tengah.
Karena terlalu
kelelahan, 20 soal itu akhirnya terbengkalai dan baru jam 9 sudah ngantuk. Karena
aku terlalu sayang dengan tubuhku, aku tinggalkan saja soal-soal untuk orang
kurang kerjaan itu.
1 comments
kasihan... banget kamu nak, coba kalo gak pindah kan gak sampai seperti itu. Tapi gak apalah kalo itu membuat kamu lebih nyaman...
ReplyDelete